Wednesday, February 21, 2007

Sebuah kenangan untuk Ayah, 21 Februari 2007

Ya, ada yang hilang selain kebijaksanaanmu, terlebih kasih sayangmu juga untuk sekedar senyum yang selalu kau beri saat menyambut kedatanganku. Pada setiap sabtu pagi waktu ku kembali datang di rumah mungil kita setelah sepekan lamanya ku mengejar hari dengan rutinitas kerja. Di Jakarta, seorang anakmu mencoba hidup dengan sisa-sisa kekuatannya, meyakinkanmu bahwa ia akan bisa memegang masa depannya sendiri.
Jika ku datang di rumah kita, kau selalu sedang bercengkerama dengan tanaman bonsai-bonsaimu di depan halaman rumah kita. Mentraining bakalan bonsai katamu, agar akar-akarnya tumbuh semakin kuat menyangga dahannya yang mulai menua.

Kau taburkan pupuk kompos kepadanya, menyiramnya dengan air dan ramuan yang sering kusebut sebagai “ramuan ajaibmu” itu, karena terbuat dari bermacam-macam bahan yang sampai sekarang belum benar-benar kupahami.
Cintamu kepada bonsai-bonsaimu, juga ikan-ikan peliharaanmu di akuarium itu, kamera-kameramu di ruang kaca di dalam kamarmu, buku-bukumu di rak tua itu sering kali membuatku tak mengerti
Mengapa semua menjadi begitu indah untukmu…
Mengapa ia begitu berharga dalam hidupmu…

Dentingan dawai gitarmu dan lagu-lagu nostalgia yang sering kau nyanyikan dengan perangkat karaoke-mu masih sering kurasakan mengalun merdu di telingaku, Ayah. Lalu suara Bunda yang seringkali terdengar ikut serta bernyanyi menambah syahdu suasana malam itu.

Nasi goreng sosismu yang selalu tersedia di minggu pagi dan membuat kami tergesa bangun karena mencium aromanya. Juga suaramu di telpon pada jumat malam sebelum aku pulang ke rumah kita, bertanya tentang apa yang kuinginkan untuk disantap di hari sabtu itu selalu kuingat dan mengalir deras dalam memoriku.

Harus kuakui bahwa dahulu sewaktu ku kecil dan ketika ku beranjak dewasa, ku sering menyebutmu bukan Ayah yang aku banggakan. Aku masih sering teringat kenangan buram ketika kau marah, membentakku dengan suara yang menggelegar seperti petir dan wajahmu menjadi begitu menakutkanku. Aku hanya bisa berlari menuju kamarku, menutup pintu rapat-rapat lalu menangis terisak di situ…

Sering sekali hal itu terjadi, lalu dengan proteksi diri yang masih kumiliki, aku mencoba kuat menghadapinya. Mencoba terus untuk bersikap manis untuk Ayahku. Walau seringkali kesakitan menderaku. Merasa tidak berarti di hadapanmu.

Setelah aku beranjak besar, aku baru mengerti, ternyata Ayahku tidak benar-benar marah kepadaku, ia hanya tak sanggup menahan rasa sakit akibat tekanan darah tinggi yang telah lama menghinggapi tubuhnya.
Dan karena itu aku jadi merasa lebih ringan jika sewaktu-waktu Ayah marah kembali. Itulah yang selalu berusaha aku ingat, supaya aku tidak kehilangan citra Ayahku sebagai Ayah yang baik.

Ayah yang hanya seorang pegawai negeri biasa, tetapi cukup memberi kebanggaan dalam hidupku. Ia hanya orang baik yang tidak pernah berusaha meraih sesuatu dengan kecurangan-kecurangan walau ku tahu posisinya memungkinkan ia melakukan itu. Bukan materi yang Ayah cari, lebih kepada kebanggaan bahwa ia berarti.

Maka sewaktu usia pensiun menghampiri hidupnya, Ayah benar-benar tidak punya apa-apa. Hanya sebuah rumah mungil yang bocor di sana-sini ketika hujan tiba. Mobilpun sudah habis ia jual untuk menambah biaya hidup dan sekolah anak-anaknya karena tidak mungkin pula untuknya mengantungkan semua pada uang pensiun yang ia terima tiap bulannya.

Ayahku tidak pernah merasa bersedih karena itu semua. Ia tetap mencoba mengejar hari walau dengan sakit yang ia rasakan. Ia tetap berusaha hidup dengan semua keterbatasannya. Ia ingin memberi contoh kepadaku dan saudara-saudaraku bahwa ia tidak ingin menjadi benalu di rumah kami. Ia hanya ingin menjadi berarti.

Lalu ia memutuskan untuk tetap berkarya di koperasi biro di departemennya. Sudah sejak lama Ayah mendirikan koperasi itu, menjadi pengurus dari tahun ke tahun. Hingga masa pensiunnya tiba, koperasi itu tidak pernah ingin ditinggalkannya. Ia wajar saja bangga, karena ternyata sebagai pendiri koperasi itu, ia masih dianggap berjasa dan diberi ruang di sana.

Lalu rasa sakitnya semakin menghambat geraknya. Pendarahan-pendarahan kecil di hidungnya sering sekali terjadi. Ia mulai kelihatan lelah, hatinya mulai rapuh karena ternyata banyak hal berat di pekerjaannya yang membuatnya semakin lelah dan merasa sakit.

Usia Ayah yang sudah 60 tahun, ternyata tak lagi membuatnya sanggup untuk terus aktif memberi masukan-masukan berarti untuk kemajuan koperasi kecilnya. Maka Ayah memilih untuk kembali lagi ke rumah. Merawat bonsai-bonsainya, memberi makan ikan di akuarium, membaca buku-buku kegemarannya lalu mensarikannya di kertas kosong yang kemudian dikumpulkan olehnya. Ia juga tak lupa membersihkan kamera-kamera tuanya, mengumpulkan hasil bidikannya yang sering ia lakukan bersamaku dulu. Daerah kota tua glodok, Kebun Raya Bogor, Gerbong-gerbong kereta jabotabek dan kumpulan anak-anak jalanan yang hidup di dalamnya. Daerah pantai Utara Jawa hingga ke Pantai Senggigi di Lombok menjadi saksi betapa Ayahku begitu mencintai fotografi.

Dari perjalanan dan penyusuran kami melalui bidikan kamera tuanya, Ayah mengajarkanku banyak sisi humanis yang sebelumnya jarang sekali aku dapatkan. Lewat itulah aku percaya bahwa hidupku harus menjadi semakin berarti. Ayah mengajarkanku ttg kesederhanaan dan kedermawaan.

Ayahku bukan seorang yang ekspresif yang tak jemu-jemu menyampaikan rasa cinta kepada anak-anaknya, memberi sentuhan, mencium, memeluk. Mungkin hanya ketika tiba-tiba aku jatuh sakit karena merasakan vertigo yang sangat hebat, semua yang terlihat di mataku berputar dan aku menggigil kedinginan. Ketika waktu itu aku hanya berdua di rumah mungilku bersama Ayah. Ia kelihatan begitu takut kehilanganku, ia mendekapku, mengoleskan minyak gosok ke seluruh tubuhku. Ia gemetar… Atau ketika Idul Fitri tiba, pada Idul Fitri terakhir di tahun 2004, Ayah menangis di hadapan kami anak-anaknya. Ketika aku mencium tangannya dan berkata
“maafin tieta, papa. Sering sekali bikin papa sedih, gak bahagia, nyusahin papa”

Ia memelukku kembali, mencium keningku, meneteskan bulir airmata yang sangat jernih tetapi pelan saja, membasahi matanya dan pipiku. Ia berujar pelan,
“Papa yang punya banyak sekali salah sama kamu, nak” “papa yang paling patut meminta maaf”

Ayahku memang tidak sehangat Ayah-Ayah yang lain. Tetapi ia mencoba bicara dengan hati, ia mendengar kami dengan hatinya…

Lalu rasa sakitnya kembali hadir, begitu cepat. Tanpa ia pernah perlihatkan kepada kami juga serangkaian hasil medical check-nya di rumah sakit. Ia mengunjungi rumah sakit itu sendirian. Tidak seorangpun di rumah kami yang mengetahui kepergiannya. Terlalu menyakitkan bagiku apabila mesti mengingatnya bahwa aku tidak hadir di sana untuk menemani Ayahku menerima vonis dokter tentang penyakitnya. Terutama hasil City Scan terbaru yang ia simpan rapi di lemari kerjanya. Bahwa ada segumpalan darah yang membeku di batang otaknya. Menyumbat otaknya. Ya Allah, Ayahku tidak ingin membuat kami merasa sedih, tidak ingin membuat kami menjadi kesulitan dengan penyakitnya. Ketika aku belum sempat mengerti akan semua pelajaran yang ia coba tanamkan kepada kami, penerus akar-akar hidupnya. Ayah jatuh dalam kesakitan…

Ia tidak pernah mengeluh bahkan untuk sekedar memperlihatkan ekspresi kesakitan di wajahnya. Ketika ia merasa sakit, ia lebih memilih untuk berbaring dikamarnya, beristirahat sebentar. Kemudian kembali aktif untuk merawat bonsai atau ikan-ikan peliharaannya.

Kau adalah ksatria
Tidak menyerah
Ketika sakit dan ketidakberdayaan
Menghujam hari…

Padahal masih bisa
Kau kabarkan berita tidak bahagia itu
Kepada kami…

Yang tidak akan mungkin dan
Tidak akan pernah meninggalkanmu
Sendiri…

Malam itu sebelum Ayah jatuh dalam kesakitan yang sangat tak terperih. Ia masih sempatkan duduk di sampingku. Memperhatikanku menyanyi lagu yang sangat ia sukai, sebuah lagu dari band padi yang begitu kuat dalam liriknya “Semua Tak Sama”. Sungguh Ayah sangat menyukai lagu itu. Ia hafal betul liriknya. Aku bernyanyi sambil memetik dawai gitar. Kegemaranku yang ternyata diwariskan olehnya. Ia menatapku, ia bicara tentang hariku. Ia bertanya… aku tidak menjawabnya, pertanyaan yang mungkin memang tidak perlu aku jawab, karena hanya pengulangan-pengulangan saja yang akan tersampaikan kepadanya. Ia duduk di sampingku, sangat dekat hanya berjarak beberapa sentimeter saja.Dan kalau saja aku tahu bahwa itu adalah malam terakhirnya bisa duduk, bertanya dan bernyanyi di sampingku dengan begitu dekat, aku pasti akan memeluknya. Tidak akan pernah melepaskannya.

Hari itu 15 Januari 2005, adalah senin kelabu untukku. Ketika aku bersiap untuk kembali bekerja, melanjutkan hari dengan rutinitasku. Aku pergi dari rumah dengan tersenyum. Bunda mengantarku hingga ke pintu gerbang rumah kami. Aku sempat bertanya tentang keberadaan Ayah. Kata Bunda, Ayah sedang membersihkan diri di kamar mandi. Lalu ketika jam di ruang tamu kami sudah menunjuk ke serangkaian waktu yang membuatku harus cepat-cepat pergi dari rumah. Aku hanya sempat berujar kepada bunda;
“Ma, aku berangkat. Nanti tolong sampaikan sama Papa ya. Aku buru-buru banget, hari ini deadline. Sampai ketemu hari sabtu depan, Ma” Sambil mencium tangan bunda yang melahirkanku dan mengecup keningnya. Lalu aku berteriak sebentar kea rah kamar mandi, sambil berkata: “Pa, tieta berangkat ya!”
Dan kalau saja aku bisa sedikit sabar menunggu…

Hari itu aku merasa sangat letih, tadinya malah aku ingin berada di rumah dan tidak bekerja. Tapi karena teringat pekerjaanku yang lumayan banyak di awal minggu itu, aku memutuskan untuk berangkat.
Perjalanan Depok menuju Kebun Jeruk sudah pasti membuatku kelelahan hingga seperti biasa aku hanya bisa tertidur di perjalanan. 2 jam lebih waktu yang dihabiskan, tentunya tidak mungkin aku sia-siakan untuk tidak memejamkan mata. Seperti para pekerja lain yang berangkat dari ujung kota metropolitan Jakarta. Semua merasa lelah.

Baru saja aku sampai dan menginjakkan kakiku di koridor toilet kantorku, ponselku berbunyi. Lebih nyaring dari biasanya. Nyaring sekali hingga membuatku tersentak. Suara seorang tetangga dekat yang mengabarkan tentang keadaan Ayah. Ayahku jatuh…
Mengerang di teras depan rumahku…

Dan semuanya menjadi gelap untukku, aku bingung, lunglai dan gemetar. Suara itu memintaku untuk cepat-cepat kembali pulang ke rumah, menengok Ayah yang dilarikan ke rumah sakit terdekat…

Tiba-tiba saja airmataku menetes, dan semakin deras. Ya, aku menangis…Teringat malam tadi ketika Ayah menatapku.

Kau mengerang dan jatuh
Di tanganmu ada sebuah dahan bonsai
Yang mulai menua…

Persis seperti usiamu
Yang tinggal separuh

Aku sempatkan untuk masuk ke dalam toilet dan menangis sekerasnya, untuk mencari damai hati di sana. Kemudian membasahi wajahku supaya bisa berfikir lebih jernih. Tapi tak mungkin, semua kesedihan mendesak dan menghimpit hatiku…

Aku putuskan untuk kembali pulang, setelah sebelumnya kusempatkan kembali untuk masuk ke dalam kantorku terlebih dahulu. Meminta izin bahwa hari itu aku akan kembali pulang, melihat keadaan Ayah, yang ternyata begitu kucintai ia.

Teman-teman di kantor hanya sempat menatapku dan menghapus airmata yang masih terlihat menetes di pipiku. Ada beberapa orang yang menawarkan untuk mengantarkanku kembali ke rumah tapi dengan berat hati aku menolaknya walau ingin sekali ada yang menemaniku di sepanjang perjalanan. Hari itu hari tersibuk di minggu itu. Aku tau itu, deadline di sebuah penerbitan majalah, tak kan pernah bisa diganggu barang 2-3 jam menuju depok.

Aku kembali menangis. Kali ini di taksi yang akan mengantarku pulang. Supir taksiku hanya terdiam, mungkin dapat merasakan kepedihanku. Aku sibuk menghubungi beberapa nomer telepon, setelah nomer telepon rumahku hanya menderit-derit saja. Tidak ada satupun yang mencoba menjawab keberadaan Ayah…
Ketika akhirnya bisa tersambungkan dengan nomer telepon genggam adikku, hanya suara tangis yang terdengar di ujung telepon itu…
“mba, papa….papa, mba”
Dua kata itu saja yang sanggup adikku sampaikan. Lalu suara temen dekat adikku, Yosi, yang sudah kami anggap sebagai bagian dari keluarga sendiri menjawab kegelisahanku.

“Mba tieta, om jatuh, kena stroke. Sekarang sedang dalam perawatan dokter” Sambil menyebutkan nama sebuah rumah sakit yang sebenarnya begitu kuragukan pelayanannya ketika seorang tanteku menghembuskan nafas di sana. Aku masih trauma, ketika malam itu aku terlambat sepersekian menit saja, padahal waktu itu dalam genggamanku, aku sudah berhasil membawa lima kantung darah dari hasil pencarianku di PMI Kramat, mengumpulkan sejumlah teman sebagai pendonor, menunggu proses pendonoran hingga 5 jam lamanya yang nantinya akan digunakan untuk mentransfusi kekurangan darah tanteku yang ketika itu mesti kehilangan bayinya dan merelakan rahimnya robek dan harus diangkat.
“Mba tita segera ke sini ya” Suara Yossi di ujung telepon itu membuyarkan lamunanku.

“Soal rumah sakit, nanti aku coba cari info yang lain mba. Sekarang yang penting om dapat perawatan pertama dulu. Semua rumah sakit terdekat penuh. Pihak rumah sakit di sini juga sedang mengupayakan perpindahan Om. Om harus masuk ICU. Di sini gak ada ICU, mba” Yosi menjawab keraguanku akan kondisi rumah sakit tempat Ayahku akan dirawat.

Sepanjang perjalananku, tak henti-hentinya aku berdoa. Berdoa semoga masih ada waktu yang lebih panjang yang disediakan Tuhan untukku, untuk membahagiakan Ayahku. Sepanjang hidupnya, aku merasa belum sanggup membahagiakannya. Walau ku tahu Ayah tidak pernah meminta apa-apa dariku. Tidak pernah terucapkan lewat bibirnya bahkan untuk sebuah sepatu baru pun ia tak mampu memintanya.
Aku benar-benar berdoa kali itu. Berdoa yang begitu syahdu dan khusu…

Ketika aku sudah semakin dekat menuju rumah sakit, satu kilometer lagi. Aku melihat sebuah ambulance melintas di hadapanku. Entah karena apa, aku yakin sekali bahwa Ayah berada di dalam ambulance itu. Aku perintahkan supir taksiku untuk segera memutar dan mengejar laju ambulance itu. Aku yakin sekali, ikatan batin kami yang membenarkan dan menguatkan kondisi itu. Ayahku ada di sana beserta adikku, Astrid dan Yosi teman dekatnya serta mba’ Fara, kakak perempuanku yang bergegas memindahkan Ayah untuk mendapat perawatan di rumah sakit lain yang memiliki fasilitas ruang ICU.

Aku tiba di rumah sakit ketika sekujur tubuhku menjadi sangat lemah. Inginnya tidak hadir di sana, untuk menyaksikan Ayahku yang mengerang kesakitan dan kesulitan berbicara. Sudah terbayangkan penderitaan Ayah dengan stroke-nya meski ini baru kali pertama ia terserang penyakit itu. Kutemui Ayah yang terbaring di sebuah bed rs, ia ditempatkan di ruang UGD. Bibirnya miring ke kiri. Ia berteriak pelan. Masih sempat mengucapkan istighfar. Matanya mendelik-delik menahan sakit. Bunda yang segera meninggalkan kantor setelah diberitahu tentang kondisi Ayah, memegang jemari Ayah, membisikkan semangat pada Ayah, bahwa ia harus kuat. Kulihat cinta yang begitu tulus di mata bunda. Kulihat bulir air matanya tidak tertumpah di depan Ayah. Tapi aku tahu, hati bunda begitu terluka.

Erangan-erangan Ayah, semakin memilukan hatiku. Setengah badannya kaku, tidak bisa digerakkan. Ia lumpuh. Ia memanggil-manggil namaku meski dengan suara pelo, terbata dan apa adanya, typical orang yang terkena stroke. Tidak bisa bicara dengan jelas. “Pa, ini aku, Tieta. Istighfar Pa, papa akan sembuh. Aku ada di sini”
Aku hampiri Ayah, mencium keningnya. Aku menangis di dadanya. Sesuatu yang sudah tidak pernah aku lakukan sejak aku sudah semakin besar dan bertambah umur. Padahal ketika aku kecil, hal itu selalu terjadi setiap hari. Aku mengadukan kesedihanku padanya. Merebahkan rasa sedih pada dadanya. Mencari kekuatan pada tubuhnya.

Semua yang terlihat di wajah Ayah semakin terlihat sangat menua. Juga tangannya yang terlihat sangat kecil. Keriput di sana-sini menambah kesan bahwa ia semakin tak berdaya. Hari itu aku sangat bersedih, seperti kesedihan seluruh anggota keluargaku. Kesedihan kakak perempuanku, yang sebentar lagi akan memberi cucu pertama untuk Ayah. Ayah memegang perut kakakku, mengelusnya dengan cinta seakan ia tahu bahwa ia tidak akan dapat melihat wajah cucunya yang ternyata setelah dilahirkan sangat mirip dengan Ayah. Ia mengerang kembali, berteriak meski tertahan. Ia menangis.

Hari-hari selanjutnya dihabiskan Ayah di rumah sakit. Dengan berbagai alat medis yang dihubungkan dengannya. Ayahku dipindahkan di ruang ICU, aku pun memastikan untuk terus mendampinginya. Wajahku yang sebelumnya selalu diliputi dengan senyum kebahagiaan akan hidupku menjadi berubah. Hari-hari belakangan itu selalu diselimuti kabut kesedihan yang tidak pernah aku bayangkan akan hadir dalam hidupku. Kabut yang seakan tidak mungkin tersapu oleh angin, sebelum aku bisa memastikan bahwa Ayah akan segera sembuh. Kembali seperti sedia kala.

Kami bergantian menjaga Ayah. Aku sengaja mengambil cuti agak panjang di kantorku. Hal yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan karena dedikasiku yang begitu besar akan pekerjaanku. Tapi tidak akan mungkin bila tidak melakukan itu untuk Ayah. Untuk Ayahku yang ternyata aku sayangi.

Jarak rumah sakit ke rumahku cukuplah melelahkan. Menghabiskan satu jam perjalanan. Maka kami putuskan untuk menginap di sana sepanjang hari. Kebetulan rumah sakit memungkinkan kami untuk menempati sebuah ruangan yang khusus diperuntukkan bagi para penunggu pasien ICU. Kami persis seperti pasukan kepanduan yang sedang kemping di gunung. Membawa seluruh peralatan dari rumah; karpet, bantal, gelas, sendok dan garpu. Membiarkan rumah dalam keadaan tidak berpenghuni karena kecintaan kami kepada Ayah. Hari-hari di rumah sakit aku habiskan untuk terus memantau perkembangan Ayah. Yang semakin membuatku sedih adalah ketika aku tidak bisa terus-terusan menjaga Ayah di samping tempat tidurnya. Ruang ICU itu terlalu jahat untuk para penjaga pasien. Hanya dalam 2 Kali kunjungan saja aku bisa melihat Ayah. Di pagi hari pukul 11 hingga 12. Juga di sore hari pukul 17 hingga 18. Waktu itu begitu sedikit untuk kami juga untuk pembesuk Ayah yang lain.

Teman-teman kantornya dulu saling bergantian mengunjungi. Teman-teman Ayah di sekitar rumah kami. Sahabat-sahabatnya sewaktu muda dulu di sebuah organisasi kepemudaan nasionalis yang masih aktif dijalaninya hingga satu minggu sebelum ia jatuh sakit. Teman-teman satu kumpulan pensiunan instansinya. Kabar soal sakitnya Ayah menyebar dengan cepat. Dari situ aku tahu bahwa Ayah adalah orang yang cukup dihormati teman-temannya. Ayah adalah orang yang disayangi teman-temannya.

Keluarga besar kami setiap hari bergantian berkunjung ke rumah sakit, menengok Ayah dan memberi semangat kepada kami untuk tetap tabah. Adik-adik Ayah yang jumlahnya 9 orang beserta ipar-ipar dan keponakan-keponakannya bergantian menginap di rumah sakit. Saudara dan kerabat Bunda pun senantiasa hadir di sana. Kekerabatan kami yang begitu erat, cukup membantu kami menjadi lebih kuat. Ruangan tunggu penjaga pasien jadi kelihatan begitu penuh dengan kehadiran kami. Kondisi Ayahpun semakin hari semakin membaik. Meski tekanan darahnya belum juga stabil. Masih begitu tinggi.

Pernah aku bertanya pada dokter tentang mengapa tekanan darah Ayah masih belum stabil padahal sudah lima hari ia menginap di rumah sakit. Alasan dokter bahwa ia mencoba menurunkan tekanan darah Ayah dengan perlahan-lahan. Tidak mungkin dilakukan secara cepat, karena akan menggangu fungsi organ tubuh Ayah yang lain. Penjelasan medis itu bisa aku terima. Aku hanya tak sanggup melihat Ayah yang selalu mengerang tentang sakit kepalanya yang begitu hebat. Tubuhnya yang selalu demam berkepanjangan. Bibirnya yang kering dan kelu juga anggota bagian tubuh sebelah kirinya yang tidak dapat digerakkan.

Masalah yang semakin berat timbul ketika di hari ke 5 sakitnya Ayah, aku menerima tagihan rumah sakit yang begitu besar jumlahnya. Sedangkan untuk biaya obat-obatan Ayah yang mesti kami tebus setiap harinya saja sudah begitu memberatkan. Berkisar di angka 3 juta rupiah, uang yang harus kami keluarkan tiap harinya untuk obat-obatannya. Belum lagi keperluan kami yang lain. Dari situlah aku harus berpikir lebih keras lagi. Teringat kenangan dan cerita mba’ Fara sewaktu Ayah pertama kali ditemukan terjatuh, ia masih sempat mengeluarkan sebuah kata tentang nama sebuah rumah sakit pemerintah yang terdekat dari rumah kami. Ia masih bisa berpikir untuk tidak menyusahkan kami. Ia masih teringat bahwa ia memiliki asuransi kesehatan yang dikeluarkan instansi tempatnya bekerja dulu. Ia ingin kami membawanya ke sana. Tapi pada waktu itu rumah sakit itu sudah penuh, karena banyak sekali pasien demam berdarah yang dirawat di sana. Di samping kami juga tahu betapa buruk pelayanan rumah sakit pemerintah di negeri ini. Maka kami memutuskan untuk membawa Ayah ke rumah sakit swasta yang tidak terlalu besar. Ternyata masalah itu muncul ketika aku dan kedua kakakku sudah mengeluarkan semua tabungan yang kami miliki. Semua, juga seluruh gajiku bulan itu yang waktu itu baru saja aku dapatkan. Aku berikan semuanya kepada bunda setelah menyisihkan sebagian kecil saja untuk ongkosku bekerja.

Satu-satunya yang membuatku bahagia adalah ketika Ayah dirawat, ia masih bisa berkomunikasi dengan kami. Walau hanya dengan tulisan. Ayah menulis dengan tangan kanannya. Ia meminta kami untuk menyiapkan sebuah buku atau white board kecil dengan sebuah spidol untuknya. Setiap hari ketika kami menjenguknya, Ayah menulis beberapa pesan dan permintaan. Ia ingin memakan soto ayam kegemarannya. Ia ingin meminum teh manis hangat seperti kebiasaan yang selalu dilakukan setiap pagi dan sore hari sambil membaca koran, mengisi TTS di koran itu atau sekedar menonton acara berita di TV. Lalu ketika ia teringat akan penyakitnya dan cukup memuntahkan emosinya ia menulis kata-kata permintaan maaf untuk kami, keluarganya. “Maafin, papa” dan selalu berulang setiap hari. Setelah itu ia kembali menangis.

Lalu airmata anak mana yang tidak akan menetes terus melihat penderitaan Ayahnya seperti itu? Emosi juga kelelahan menghinggapi aku. Aku harus terus berpikir untuk menyelamatkan Ayah, untuk membuatnya kembali sembuh. Aku terus berharap, karena aku tahu harapanlah yang bisa menguatkanku. Aku berdoa tak henti-henti apalagi ketika pada hari ke-enam Ayah dirawat di rumah sakit, dokter mengajak kami sekeluarga untuk bicara. Dokter menyarankan agar Ayah dioperasi syaraf. Untuk mengeluarkan gumpalan darahnya. Agar memudahkan dan mempercepat proses pemulihannya.

Kabar terberat kedua yang harus aku terima adalah soal Operasi! Dan sudah terbayangkan berapa banyak lagi biaya yang harus kami keluarkan sedangkan masalah biaya yang kemarin saja belum juga terselesaikan. Sederetan angka puluhan juta rupiah melintas di kepalaku. 50 juta rupiah mungkin bilangan yang terkecil. Alternatif cara penanganan penyakit Ayah lewat operasi disampaikan dokter untuk segera ditindak lanjuti oleh keluarga kami. Aku bertanya tentang kemungkinan terburuk serta prosentase keberhasilan operasi itu. 50:50 dokter spesialis syaraf itu begitu tegas bicara. Andai saja aku memiliki banyak sekali simpanan uang di dompetku. Aku pasti langsung menyetujui setiap proses penanganan selanjutnya yang disampaikan dokter demi semata-mata untuk kesembuhan Ayah. Aaaghhh, hari itu terasa sangat berat untukku.

Lalu satu persatu keluarga Ayah datang ke rumah sakit, aku, bunda, adikku dan kedua kakakku sudah begitu sulit untuk berpikir lebih jernih. Emosi kami meluap-luap. Kami menangis bersama. Mengumpulkan sisa kekuatan yang tertinggal di hati kami. Mengumpulkan lagi harapan yang semakin tercecer di hari kami.

Maka kami memutuskan untuk tidak jadi mengoperasi Ayah. Setelah mendengarkan banyak sekali opini dari kerabat dan juga beberapa dokter lain yang kami minta pendapatnya tentang penyakit Ayah. Operasi memang salah satu cara paling efektif. Tapi siapa yang bisa menjamin tentang keberhasilannya? Sedangkan kami tahu bahwa kondisi Ayah sudah membaik. Dokter-dokter lain pun yang kami temui buakn di rumah sakit itu meyakinkan kami bahwa Ayah tidak perlu dioperasi. Ia masih bisa diterapi lewat pengobatan yang berkesinambungan.

2 hari kemudian kami memindahkan Ayah ke rumah sakit yang lain. Walaupun awalnya aku begitu tidak sanggup untuk menyaksikannya. Tapi atas berbagai pertimbangan terutama mengenai biaya rumah sakit yang semakin memberatkan kami. Atas saran seorang adik Ayah yang juga mempunyai kartu jaminan asuransi kesehatan seperti yang dimiliki Ayah, ia meyakinkan kami bahwa Ayah akan tertangani lebih baik di sana. Kartu jaminan kesehatannya juga akan bisa berfungsi. Walau tidak seratus persen menerima penggantian. Mungkin hanya hitungan prosentase yang kecil saja. 20 % Paling tidak, tetapi tidak akan terlalu memberatkan kami, anak-anaknya. Kerabatku dengan bijak memberi pertimbangan bahwa Ayah, sebagai penderita stroke, membutuhkan perawatan yang sangat lama. Belum lagi soal terapi-terapi yang harus dijalaninya setelah mungkin keluar dari rumah sakit.

Atas pertimbangan-pertimbangan itu kami memutuskan jalan yang mesti kami tempuh, memindahkan Ayah ke rumah sakit lain di daerah petamburan yang kebetulan dekat dari lokasi kantor dan kostku. Kebetulan pula di sana seorang Pamanku kenal dekat dengan seorang dokter dan kepala perawat yang bertugas di sana. Sempat kami khawatir dengan kondisi Ayah, tetapi para dokter meyakinkan kami bahwa kondisi Ayah saat itu sangat memungkinkan untuk dipindahkan dengan ambulance. Sebelum Ayah dipindahkan, aku berusaha berbicara dengan Ayah. Aku katakan: “Pa, nanti sore papa akan dipindahkan ke rumah sakit lain. Gak papa ya Pa. Kita mencari pengobatan yang terbaik untuk Papa. Di sana, banyak sekali dokter ahli, Pa”

Ayahku hanya terdiam. Memandangku dengan penuh iba, mungkin memahami kesulitanku. Ia tersenyum kemudian. Berkata dengan suara yang sangat pelan dan terbata:
“Gak papa. Dimanapun Papa siap, nak”
“Papa tahu di sana asuransi kesehatan Papa bisa terpakai”
Kelu bibir ini berkata. Ada bulir bening yang menganggu pandanganku. Ayah mengerti kesulitan kami. Dalam sakitnya Ayah masih memikirkan kami. Ia tidak ingin menyusahkan kami, anak-anaknya.

Kau mengerti kami
Dalam sakitmu, kau masih mengerti kami
Mengalahkan penderitaanmu
Demi cintamu
Dan ketidaksanggupanmu
Melempar beban berat itu
Kepada kami,
menyakiti kami…

Lalu raungan sirene ambulance, mengantarkan Ayahku ke rumah sakitnya yang baru. Yang mungkin akan mengantarkannya pada kesembuhan. Sebuah tabung oksigen dan dua orang perawat yang hadir menjadi teman Ayah di perjalanan. Kami sengaja mencari waktu sabtu malam supaya di sepanjang jalan menuju rumah sakit tidak kami temui kemacetan yang berarti. Dan aku saksikan gerimis kecil mengantar perpindahan Ayah.

Kalau saja waktu itu tidak ada pengendara motor yang berbaik hati, memutuskan untuk berbalik arah dan mempercepat motornya untuk merapat ke ambulance Ayah dan memberi tanda bahwa ia bersedia menjadi pemandu ambulance Ayah, kami pasti akan tiba dengan keterlambatan dan Ayah akan merasakan sakit yang begitu hebat. Sore itu jalan begitu padat karena hujan semakin deras menguyur bumi. Ambulance Ayah sempat untuk beberapa lama hanya terdiam terjebak kemacetan. Hanya sirenenya saja yang meraung-raung. Lalu pengendara motor yang kami tidak kenal sebelumnya, memutuskan untuk membantu kami menjadi pembuka jalan bagi ambulance yang lewat. Ia menerobos hujan lalu menggerakkan tangannya untuk sedikit meminta pengendara lain untuk menepi, membuka ruang, membiarkan ambulance Ayah melaju dengan leluasa. Ia memandu kami hingga tiba di rumah sakit. Ya Allah, ternyata masih banyak orang baik yang bersedia membantu kami, walaupun kami tidak mengenalnya.

Ayah tiba di rumah sakit dengan kondisi yang berbeda. Akupun menyesali perpindahan itu. Ayah sempat tidak sadarkan diri untuk beberapa saat. Ia terlihat sangat lemah. Mungkin ia kelelahan. Aku menangis, menyaksikan Ayahku yang tidak bisa berbicara seperti sebelumnya.

Semua kerabat berusaha menenangkan aku. Harapan yang telah aku tumbuhkan kembali layu. Pertama kali Ayah ditempatkan di ruang UGD untuk mengecek segala medical record yang berasal dari rumah sakit terdahulu. Kemudian setelah setengah jam berada di sana, ayah dipindahkan ke ruang ICU. Ada beberapa bed yang disediakan di sana. Semuanya penuh. Bed-bed itu di jajarkan di sudut-sudut ruangan yang lebih mirip Aula. Lalu di tengahnya ada ruang pantau perawat dan dokter. Kelihatan lebih professional dibanding rumah sakit terdahulu. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa Ayah akan sembuh? Bahwa Ayah akan mendapat perawatan yang lebih baik di sana?
Hanya doa dan harapan yang kami tanamkan pada hari itu.

Suasana yang berbeda kami temui di rumah sakit itu. Arsitektur bangunannya yang sangat klasik dan tempo dulu menambah suasana sepi di hati kami. Padahal banyak sekali keluarga pasien yang menginap di sana. Aku baru melihat ruang ICU yang sesungguhnya. Penuh dengan kesan muram. Suara mesin-mesin dan alat bantu pernafasan beradu dengan desah kesakitan para pasien. Semua hadir dengan kesedihan yang mendalam. Para keluarga pasien memenuhi koridor panjang di sisi luar ruangan ICU. Koridor itulah yang juga berfungsi sebagai ruang tunggu bagi mereka. Koridor itu dibagi menjadi beberapa block yang dipisahkan dengan kursi panjang seadanya. Sebuah kasur lipat dan dua buah bantal besar selalu ada dan menjadi penghias dalam setiap block. Begitu juga dengan kebutuhan-kebutuhan lain penunggu pasien. Bukan ruang tunggu yang nyaman, apalagi bila malam tiba pikirku. Dan itulah yang aku dan keluargaku alami. Malam itu terasa sangat tidak nyaman untuk kami. Malam pertama setelah kami berhasil memindahkan ayah. Kami tidak mendapatkan tempat di koridor. Pasien ICU yang tiba-tiba saja membludak minggu-minggu belakangan itu membuat suasana ruang tunggu terlihat sangat kacau. Akhirnya kami memutuskan untuk menggelar saja karpet dan bantal-bantal kami di depan koridor. Menunggu hingga ada sedikit ruang bagi kami untuk merapat dan berbagi penderitaan bersama orang-orang yang senasib di sana.

Ketidaknyamanan itu diperburuk ketika dalam kelelahan kami setelah seharian harus berkonsentrasi dengan perpindahan ayah dan beradaptasi dengan tempat baru. Tiba-tiba Kami dikejutkan dengan suara raungan tangis. Waktu itu baru saja menunjukkan pukul 2 pagi. Banyak sekali ratapan. Lalu ruang tunggu semakin riuh dengan suara-suara lain yang mengikuti suara tangis itu. “Sabar, bu. Ikhlaskan saja kepergian anak Ibu. Itu yang terbaik untuknya.” Lalu erangan-erangan kesedihan yang lain bersahut-sahutan di pagi itu. Mereka menjerit, menangis tersedu.

Baru kusadari arti kehilangan di situ. Baru kusadari betapa pendek jarak antara kematian dan kesembuhan di ruang ICU itu. Baru kusadari betapa besar harapan yang orang-orang itu tanamkan dalam hati mereka. Betapa mereka sudah mencoba untuk memenuhi segala hal yang mungkin bisa menambah masa hidup bagi orang yang sakit. Mencari uang ke sana kemari untuk biaya berobat, memagari hati dengan harapan yang besar akan kesembuhan orang-orang yang mereka cintai. Lalu ketika harapan tidak berjalan sesuai dengan keinginan, mereka tidak bisa menahan tumpahnya rasa sedih dalam setiap kisi jiwa mereka. Kehilangan orang-orang yang nyatanya sangat berarti bagi mereka…

Lalu rasa takut kembali memenuhi batinku. Lebih takut daripada ketika aku diberitahu bahwa Ayah terjatuh di teras rumahku. Kenyataan yang semakin membuatku takut. Bahwa Ayah sekarang berada di ruang ICU, bahwa Ayah sekarang bertambah buruk kondisinya, bahwa Ayah sedang berusaha memerangi penyakitnya dan sewaktu-waktu aku harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.

Aku memilih untuk pergi ke sudut ruangan. Melihat kesedihan keluarga itu dari jauh. Hatiku begitu kecil saat itu. Sungguh ketidakberanian dan ketidakberdayaan saja yang hinggap pada batinku pagi itu.

Nyatanya aku tidak sanggup untuk terus saja meratap. Aku sadari bahwa mereka pun sama sepertiku, seperti keluargaku yang sewaktu-waktu pun bisa menerima kabar itu dari seorang perawat yang sebelumnya berteriak-teriak memanggil salah satu keluarga pasien untuk segera masuk ke dalam ruang ICU. Mengabarkan tentang kondisi terburuk dari pasien. Lalu satu persatu keluarga yang tersisa memenuhi sisi-sisi ranjang pasien. Mereka bertangisan, berpelukan, melantunkan doa-doa dari Kitab suci mereka. Sementara para dokter dan perawat dengan cekatan mengatur alat pacu jantung ke dada pasien. Menghujani mereka dengan beberapa kali tekanan. Memompa jantungnya. Melihat kembali ke monitor pengukur tekanan jantung. Lalu di situlah Sang Maut menjemput si pesakitan. Pelan-pelan mengambil rohnya yang tersisa. Menghentikan darahnya. Melumpuhkan semua fungsi organ tubuhnya.

Aku bergegas untuk membantu membereskan beberapa perabot dan peralatan dari keluarga itu untuk dibawa pulang. Menggulung tikar dan karpet mereka, memasukkan perabotan yang tercecer di lantai ke dalam satu kardus besar. Ada semangat muncul di hatiku ketika menyadari bahwa penderitaan keluarga itu sama besar seperti penderitaan keluargaku. Kami yang dikumpulkan di situ adalah satu. Tentulah Tuhan inginkan kami untuk saling menguatkan, untuk saling menghibur dan membantu mencairkan kelelahan.

Esok hari kemudian kami mendapatkan sebuah tempat yang sangat layak untuk menunggu Ayah. Bukanlah di koridor ruang ICU, tetapi di sebuah musholla kecil yang letaknya tepat di samping ruang ICU. Tak diduga, masih banyak orang baik yang mau berbagi tempatnya dengan kami. Meski mereka hanya mendapat sedikit tempat untuk merebahkan tubuhnya ketika malam tiba sambil menjaga kerabatnya dari jauh.

Musholla itu bentuknya memanjang, maka para penunggu pasien menyisakan tempat di bagian depan untuk orang-orang yang ingin sholat atau sekedar melantunkan ayat-ayat suci, mencari kekuatan dan menghembuskan doa kepada Sang Khalik untuk kesembuhan orang-orang yang berarti dalam hidupnya. Seorang Ibu menawarkan tempatnya kepadaku ketika aku sedang berjalan-jalan untuk melihat kemungkinan ruang yang kosong. Ternyata bukan hanya koridor di depan ruang ICU yang penuh, tetapi itulah juga yang terjadi dalam musholla kecil itu.

Betapa aku begitu mengkhawatirkan Bunda apabila harus selalu berada di luar koridor itu. Angin begitu kencang menerpa kami. Begitu juga dingin malam. Tentulah dengan tubuh yang semakin menua, Bunda tidak akan sanggup bertahan begitu lama berada di luar ruang itu. Bunda yang sejak ayah di rawat di rumah sakit tidak ingin pernah lepas dari tatapan ayah, meski ia harus berada di luar ruang ICU. Bunda ingin selalu dekat dengan Ayah. Ia tidak pernah beranjak dari tempat itu, ia ingin selalu ada ketika Ayah mungkin bisa berteriak memanggil nama bunda, ia ingin jadi orang yang pertama mengantarkan tubuh dan rindunya kepada Ayah ketika jam besuk pasien ICU tiba. Bunda yang tiba-tiba menjadi begitu kalut, begitu bersedih tetapi selalu mengobarkan semangat dan cintanya kepada Ayah meski Ayah tak lagi seperti dulu. Hanya seorang pesakitan yang lemah.
Dan ternyata Tuhan memberi tempatnya untuk kami di sebuah sudut Musholla kecil itu. Kami berbagi tempat dengan 5 keluarga lainnya. Siang itu suasana agak sedikit riuh setelah kedatangan kami. Jumlah pasukan kami yang cukup banyak menjadi bahan perbincangan mereka. Meski begitu mereka tetap tersenyum dan begitu ramah kepada kami.

Kami menggelar kembali atribut menginap kami. Sekarang dengan perasaan yang lebih lelah dibanding hari sebelumnya. Bergantian kami melepaskan lelah di sebuah kasur lipat yang aku bawa dari kamar kostku. Nyatanya kasur itu cukup mampu memberi rasa nyaman kepada kami. Para penghuni ruang tunggu di musholla itu adalah sahabat terbaik bagi kami. Bukan hanya karena mereka juga merasakan beban yang mirip dengan kami, tapi karena mereka selalu berusaha menguatkan kami, penghuni ruang tunggu yang tiba-tiba saja bisa menjadi sangat lemah ketika baru selesai melihat kondisi kerabat yang sakit di ruang ICU.

Kondisi pasien ICU, sangatlah beragam dan tidak stabil. Sewaktu-waktu Ayah pernah terlihat cukup baik, tapi keesokan harinya Ayah bisa terlihat sangat kepayahan. Bunda menjaga Ayah di rumah sakit setiap hari, tidak pernah ingin pulang ke rumah. Bunda hanya takut kehilangan kabar Ayah. Adik perempuanku, Astrid menjadi teman Bunda di sana.

Setelah cuti selama satu minggu, aku harus kembali bekerja, dan mencari tahu kabar Ayah setiap 1 jam sekali lewat perangkat komunikasi, handphoneku yang menjadi benda yang begitu penting saat itu.

Aku seringkali kehilangan konsentrasi menyelesaikan pekerjaanku. Selalu dan selalu seperti itu. Cuma tatap nanar kekosongan dari mataku menghadap monitor komputerku. Berat sekali, apalagi jika deadline tiba. Ingin cepat-cepat aku menyelesaikan pekerjaanku lalu kembali berada di rumah sakit untuk melihat Ayah jika jam besuk tiba dan menjaganya dari malam hari hingga pagi harinya di musholla kecil di samping ruang ICU.

Kuberanikan diri untuk menghadap pimpinanku. Aku meminta keringanan untuk pulang lebih awal, pukul ½ 5 sore karena aku harus mengejar jam besuk ayah di pukul 5 hingga 6 sore. Dan pimpinanku menyetujuinya. Sungguh dermawan. Sangat tidak cukup waktu yang disediakan rumah sakit untuk kami, pembesuk. Untungnya jarak kantorku ke rumah sakit hanya ditempuh dalam hitungan menit saja. Aku tahu, aku juga harus bergantian dengan orang-orang lain, kakak dan adikku juga kerabat Ayah yang hadir ingin membesuk Ayah. Setiap hari ada saja kerabat Ayah yang datang, melihat kondisi Ayah. Jika kondisi Ayah hari itu membaik, Ayah akan tersenyum menyambut mereka, mengajak mereka bicara tentang banyak hal meski dengan suara yang sulit sekali dikenali. Aku, atau siapapun yang sedang berada di ruang ICU akan menjadi penerjemah Ayah, juga melalui sebuah whiteboard kecil atau buku kosong yang ada di samping Ayah. Ayah menulis keinginannya di situ dengan tulisan yang sulit sekali terbaca karena fungsi motoriknya pun terganggu tapi kami bangga bahwa Ayah tidak menyerah walau dengan segumpalan darah yang masih bersarang di otaknya, memori Ayah selalu bekerja dengan baik. Ia masih saja mengingat detail dan peristiwa yang mengubungkannya dengan para pembesuk, lalu mencoba mengurai kenangan dengan mereka. Bukan hanya dengan pembesuk yang Ayah kenal tetapi juga dengan teman-teman kuliahku yang bergantian datang menjenguk Ayah. Ayah kenal dengan banyak sekali teman-teman kuliahku. Ia seringkali berdiskusi kecil tentang apa saja; tanaman; buku dengan mereka. Beberapa orang teman kantorku pun heran, ketika Ayah mengenali mereka, meski baru kali itu mereka bertemu. Mengenali mereka dengan keramahan dan beberapa kata identifikasi yang ia ucapkan. Lalu aku teringat ketika aku sering kali bercerita kepada Ayah, Bunda dan seluruh anggota keluarku di rumah. Aku terharu ketika menyaksikan Ayah mengingat semua cerita yang aku sampaikan. Bentuk perhatian lain, yang begitu mulia yang diberikan Ayah kepadaku.

Tetapi, lidahku juga seringkali menjadi kelu ketika melihat kondisi Ayah kembali melemah. Sepersekian detik saja, tiba-tiba Ayah bisa menjadi sangat lemah. Mengerang dan tidak jarang berteriak. Suhu badannya yang awalnya biasa, tiba-tiba menjadi begitu panas. Ia menggigil lalu mengerang tak jelas. Awalnya aku begitu panik menyaksikan itu, aku hanya bisa menangis dan memeluk Ayah. Mencoba menenangkan hatinya dengan harapan hatiku pun akan menjadi tenang. Lalu ketika cara itu tidak berhasil, Ayah masih memperlihatkan ekspresi kesakitannya aku berteriak ke arah perawat, meminta pertolongan mereka. Satu ampul obat penenang langsung disuntikkan ke tubuh ayah. Ayah melemah, dan tertidur. Aku jadi terbiasa dengan cara itu ketika Ayah kembali menghadapi kondisi itu.

Kabar gembira kembali datang ketika dokter memutuskan untuk memindahkan Ayah ke ruang perawatan biasa. Setelah lebih dari dua minggu lamanya Ayah melawan rasa sakitnya di ICU, kabar itu datang. Aku membisikkan kabar bahagia itu ke telinga Ayah. Tidak ada yang lebih membahagiakan untuk menyampaikannya ke Ayahku. Harapan yang selalu kami tumbuhkan, membuahkan hasil yang begitu manis. Ayah akan kembali sehat di ruang perawatan itu. Ayah berteriak “Alhamdullilah” ketika ia mendengar tentang kabar itu, dan beberapa bintik airmata membasahi pipinya yang semakin menua.

Aku sengaja mencari kamar perawatan yang menghadap ke taman di rumah sakit itu, membayangkan bahwa Ayah akan menikmati pemandangan ketika Ia, kami antarkan berkeliling dengan kursi roda setelah ia lebih sehat dan dijinkan berjalan-jalan. Berbagai bayangan manis tentang perlakuan yang akan Aku berikan kepada Ayahku memenuhi isi kepalaku. Aku mulai dapat tersenyum hari itu.
Kerabat Ayah, Om dan Tanteku yang kami kabarkan tentang kondisi Ayah yang semakin membaik, juga mengucap syukur yang teramat dalam. Tepat di malam harinya, mereka semua berkumpul di rumah sakit ingin membagi kebahagiaan bersama. Kami membereskan beberapa perabot untuk memindahkannya ke ruangan perawatan Ayah yang baru walau ada sebagian yang masih kami simpan di musholla itu. Musholla itu sudah menjadi temapt yang cukup nyaman untuk keluarga kami, terutama ketika kami bisa berdoa dengan begitu khusu dan bersahabat dengan orang-orang yang baik di sana.

Seorang mantan bawahan Ayah dating ke rumah sakit, dan Ayah masih sempat mengenalinya. Ayah memang pribadi yang sungguh baik. Ia sering sekali memberi hadiah atau barang-barang keapda orang-orang yang ia kasihi, tidak terkecuali para bawahannya.
“Pak Wid inget gak sama cincin ini, ini cincin masih saya pakai loh pak. Pemberian Bapak hampir 15 tahun lalu” Sebuah cincin emas yang diikat dengan batu akik. Mantan bawahannya berkata dan membangunkan lamunanku. “Pak wid, cepat sehat lagi ya…” dan Ayah sempat mengganguk tanda setuju.

Nyatanya kami tidak diijinkan Tuhan untuk terlalu jumawa, walau kami pun tidak ingin menjadi jumawa. Kami hanya bahagia untuk sebuah perkembangan yang telah kami nantikan hadir sewaktu-waktu. Kembali menguatkan kelemahan kami.

Esok harinya, aku ingat betul, hari itu hari minggu. Baru 2 hari Ayah dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Ada beberapa kejanggalan yang aku temukan dalam diri Ayah, ketika ia seringkali tertidur di kasurnya. Jarang sekali membelalakkan matanya dan tersenyum seperti ketika ia berada di ruang ICU. Tetapi sebagai orang yang awam akan perkembangan pasien penderita stroke, aku tidak pernah berpikir sesuatu hal akan terjadi pada Ayah. Ayah pun tidak pernah ingin makan banyak hari itu. Padahal biasanya, ketika aku menyuapinya dengan beberapa sendok bubur, Ayah pasti akan membuka mulutnya lebar-lebar dan tersenyum. Perbedaan perawatan juga kami temukan. Yup, sebelumnya dokter di ruang ICU pun sudah menjelaskan tentang perbedaan cara penangan antara pasien di ruang ICU dan pasien di ruang perawatan biasa. Dokter-dokter tidak lagi hilir mudik memantau perkembangan pasien, apalagi waktu itu hari minggu. Sedikit sekali dokter yang bertugas semakin menyulitkan kami untuk berkonsultasi. Ayah semakin sulit untuk diajak berkomunikasi. Waktunya lebih banyak dihabiskan dengan tidur, dimana kami hanya berpikir mungkin Ayah lelah dan butuh lebih banyak istirahat.

Setelah sore hari tiba, aku semakin tidak mengerti dengan kondisi Ayah. Aku rindu berbicara dengannya. Mendengar suaranya, atau melihat tulisan di buku kosong itu tentang hatinya yang bahagia karena ia telah berhasil melewati masa kritisnya di ruang ICU. Ketika seorang dokter jaga lewat depan kamar Ayah, aku memanggilnya dan berusaha meminta pendapatnya tentang kondisi Ayah. Dokter itupun masuk dan memeriksa kondisi Ayah. Mengukur denyut jantungnya, berusaha membangunkan Ayah dengan mencubit lengannya, menepuk-nepuk keras tangannya. Tetapi Ayah hanya sebentar saja bangun, mengedipkan kelopak matanya, setelah itu kembali tertidur. Dokter itu menjelaskan kondisi Ayah yang semakin kehilangan dan menurun kesadarannya dan memutuskan untuk segera membawa Ayah ke ruang ICU kembali…

Aku hanya terdiam

Dan menangis

Kami, yang hadir di ruangan itu pun menangis…keras sekali…

Tak terbayang ketika kami harus menghadapi ini kembali, setelah sebentar saja Tuhan membawa kami dalam situasi yang cukup membuat kami menjadi lebih kuat, membangun kembali harapan yang semakin pudar dalam hari-hari kami kemarin.

Mengapa, ketika asa membumbung lagi
Kau hempaskan kami ke tepian tak berakhir lagi…
Yang akan lebih sakit kami rasakan
Yang lebih perih menjadi luka…
Mengapa?
Mengapa, ya Rab…

Aku duduk seorang diri di depan kamar Ayah, ketika kerabat yang lain kembali membereskan barang-barang kami untuk dibawa ke Musholla itu lagi. Aku merintih, meski dalam hati. Pandanganku kosong. Lemah, letih, risau, galau, kecewa…bertubi-tubi menerjang hatiku. Aku menangis lagi…dan menangis lagi…

Seorang kerabat menghampiriku, seorang tante yang cukup dekat denganku. Matanya pun masih basah seperti mataku. Ia menepuk pundakku sambil berkata:
“Mba, sinta…jangan menangis terus. Tante juga sedih dan kaget menyaksikan ini. Terlalu singkat, bahagia yang kita dapatkan. Tapi, papa masih butuh kalian semua, nak!”…Siapa lagi yang akan memberi kekuatan kecuali kalian, buah hatinya. Lebih baik kita berdoa dan berserah saja ya. Ayo antarkan papa kembali ke ruang ICU”

Perkataan tanteku menyadarkanku kembali. Aku bangkit dan membantu kerabatku merapikan barang-barang kami. Sedang Ayah masih terbaring di kasurnya. Diam. Sunyi. Hanya kadang-kadang terdengar rintihan dari bibirnya yang pucat. Ayah masih menunggu perpindahannya. Setelah ruang ICU dinyatakan siap untuk menerima kedatangan Ayah kembali, aku menggengam jemari Ayah sambil berkata; “Pa, jangan gentar. Aku di sini, di samping Papa, menemani Papa.”

Kami bersama-sama mengantarkan Ayah ke ruang ICU lagi, ruang di mana ia jadi saksi bisu betapa kami masih menggantungkan harapan akan kesembuhan Ayah. Ruang di mana kami masih berusaha mengeja kekuatan meski harus tertati-tatih kami mendapatkannya. Ruang di mana membuat kami menjadi semakin mengerti betapa sebenernya Ayah begitu berarti dan kami menyayanginya. Ruang di mana kami selalu menebarkan cinta, yang tidak akan pernah habis kami gali lagi maknanya untuk Ayah.

Lalu kami mengalami lagi berbagai peristiwa yang berputar kembali dalam hari-hari kami menemani Ayah di ruang ICUnya…Peristiwa dan kejadian ketika Ayah mengerang dan kesakitan, ketika obat penenang disuntikkan ke tubuhnya. Dan begitu banyak alat-alat dan kabel-kabel yang dihubungkan dengan tubuhnya. Peristiwa yang semakin mengiris hati kami. Semakin hari, kondisi Ayah semakin memburuk. Mungkin ia kecewa, karena ia kembali terbaring di ruang ICU itu…sedangkan untuk kesekian kalinya ia selalu berkata tidak ingin berada di situ lagi. Ia ingin pulang saja ke rumah, dirawat di rumah dengan cinta dari keluarganya. Bukan di ruang ICU yang terasa begitu kejam untuknya. Tapi lagi-lagi kami tidak mengerti dan tidak sanggup memenuhi permintaannya. Permintaan yang begitu sulit kami kabulkan, karena kami tidak pernah tega melihat penderitaan Ayah apabila berada di rumah. Kami hanya orang awam yang tidak begitu mengerti tentang kesehatan. Kami hanya bisa menaruh harapan kami untuk kesembuhan Ayah di rumah sakit itu.

Tak terbayangkan lagi semangatku yang mulai mengendur saat-saat itu. Aku letih dikunyah-kunyah kenyataan. Kalau bisa aku berlari jauh dan menghindar, aku akan pergi saja. Tapi rasa cintaku kepada Ayahku terlalu besar dan aku teringat dengan janjiku yang aku ucapkan kepada Tuhan. Mencoba bernegosiasi kepadanya ketika Ayah jatuh pertama kali di teras depan rumahku. Aku hanya ingin Tuhan memberikan lebih banyak waktu untukku. Waktu yang aku miliki bersama Ayah. Waktu di mana aku bisa menyampaikan rasa cintaku kepadanya. Karena setelah segini besar, aku jarag sekalii memperlihatkan kepada Ayah betapa ia selama ini tanpa kusadari telah menjadi role modelku yang terbaik. Semua bakat yang Ayah miliki mengalir deras dalam darahku. Kegemarannya dalam fotografi, membaca buku, menulis sajak, menyanyi dan sedikit bermain musik. Kami berdua begitu mirip. Maka aku menunggu dan terus menunggu janji Tuhan untuk memberikan setidaknya sedikit waktu yang bisa aku bagi bersama Ayahku.

Harapan akan kesembuhan Ayah, semakin pudar dalam hari kami. Kondisinya tidak juga membaik sejak ruang ICU kembali menjadi sahabatnya dalam hari. Aku mengawasi terus perkembangan Ayah lewat monitor jantung dan catatan kecil di whiteboard dari dokter yang tersedia dan di depan tempat tidurnya. Juga lewat catatan perkembangan medik laboratorium.

Sekarang Ayah bukan hanya menderita penyakit stroke tapi juga dibarengi dengan komplikasi dari penyakitnya. Pneumonia dan fungsi jantungnya yang juga terganggu ditambah dengan penurunan fungsi livernya. Selalu ada kontradiksi dari setiap pengobatan apalagi setelah mengkonsumsi obat-obatan sebegitu banyak dalam beberapa minggu terakhir ini. Tubuh Ayah semakin menguning, nafasnya tersenggal. Selang oksigen tak pernah lepas dari abtang hidungnya.

Kalau aku tidak memiliki saudara-saudara yang begitu baik, kerabat, teman dan sahabat yang begitu banyak jumlahnya, mungkin aku sudah terkapar entah di mana. Bukan hanya memikirkan tentang kondisi Ayah tetapi juga tagihan Rumah sakit yang semakin membengkak. Tapi Aku dan keluargaku percaya, selalu ada pertolongan dari Tuhan ketika masalah mendera. Aku percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan pencobaan yang begitu berat untuk kita hadapi. Silih berganti semangat, pertolongan, doa dan perhatian hadir untukku dan keluargaku. Bantuan dari teman hari dan sahabat yang tidak pernah bisa ternilai. Mereka yang membuatku kuat dan terlihat sangat tabah walau jauh di dalam lubuk hatiku ada sumur kepedihan yang terbangun.

Hari itu, Kamis 18 Februari 2005, sepulang kantor aku sempatkan untuk menengok Ayah. Ia keliatan begitu kepayahan menahan sakitnya. Ia hanya terdiam dan tubuhnya semakin menguning. Aku menangis melihat Ayahku, dan ia pun menangis.
Aku bisikkan beberapa kalimat penguat baginya, kata-kata bahwa ia selalu berarti untukku…ia yang membantu menjadikanku sebagai manusia yang sebegini kuat dan tabah. Semoga menjadi manusia yang baik pula. Dari detik itu aku tahu umur Ayahku tidak akan lama lagi. Aku bisa merasakannya. Mata Ayah berbicara banyak, genggaman tangannya seakan mengisyaratkanku bahwa Aku harus siap melepasnya pergi.

Kegalauan batinku membuatku melemah, tak berdaya esok harinya. Meski aku sudah mencoba menahannya untuk tidak membuat kondisiku menjadi lemah. Nyatanya aku cuma manusia biasa yang lagi-lagi akan menjadi lemah menyaksikan dan menghadapinya. Sejak pagi aku sudah merasakan tubuhku menggigil hebat, lemah sekali dan bila sore hari tiba suhu tubuhku menjadi begitu panas. Seorang teman kantor yang begitu perhatian dengan kondisiku memaksaku untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Ia bersedia mengantarku. Maka aku lewatkan sore itu untuk menengok Ayah.

Dokter memastikan bahwa aku menderita paratyphus yang lumayan parah dan memintaku untuk tinggal di rumah sakit untuk diopname. Tapi aku bersikeras untuk menjalani perawatan di rumah saja sambil menceritakan kondisi Aku dan keluargaku yang sedang was-was menanti kabar Ayah yang masih dalam kondisi kritis.

Tiga hari lamanya aku hanya terbaring di kamar kostku. Teman-teman kostku bergantian datang dan mencoba menghibur rasa sakitku. Yang paling membuatku sedih adalah ketika aku tidak bisa melihat kondisi Ayah dan memegang jemarinya.
Tapi tubuhku seakan tidak bisa diajak kompromi untuk kuat menghampiri Ayah di rumah sakitnya.

Malam senin, 20 Februari 2005.
Aku sulit sekali memejamkan mata, terbayang wajah ayah. Di setiap sudut kamarku, aku menemukan wajahnya. Tersenyum.

Hanya doa yang bisa aku lafalkan kepada Tuhan untuk memberikan yang terbaik kepada Ayahku. Semua yang terbaik untuknya adalah yang terbaik untukku dan keluargaku. Malam itu aku benar-benar berada di titik kenisbian tetapi aku begitu ikhas menerima apapun bentuk rencana yang ingin Tuhan berikan kepadaku.

Tepat di pukul 7.15 pagi hari, hari itu Senin 21 Februari 2005, sebuah dering telepon mengagetkan diriku yang sedang termenung. Ada suara tangis di sana. Astrid adikku berkata: “Aku dipanggil ke ruang ICU sama Mama dan Oci, katanya Papa kritis.” Mba Tieta berdoa untuk Papa ya.

Ya Rab, aku siap…ketika papa sudah kau nyatakan siap untuk menemuimu…

Pukul 7.30…Papa, Ayah yang akan selalu kubanggakan…
MenghadapMu…ke negeri di awan.

Innalilahi wa innailahi raji’un….

Tubuh-tubuh gontai berjalan pulang
Lewati jalan setapak itu…
Beberapa kerabat menyangga
Bunda yang kelihatan semakin tua hari itu.
Semua bersedih…
Baru saja aku hadir di pemakaman Ayah
Dengan airmata yang masih membasahi
Mata dan matahatiku

Ayahku telah tiada…
Setelah berjuang 35 hari lamanya
Bersahabat dengan infus,
Alat pengukur denyut jantung,
Obat-obatan, racun-racun medis,
CVP, ventilator, dan perawat
Di ruang ICU

Tak pernah ku bosan hadir
Untuknya…
Setiap hari sepulang kerja
Sekedar untuk menggengam jemarinya,
Mengelus dahinya. Memijat kaki dan tangannya
Atau memberikan kecupan mesra tanda bakti
Anak kepada orang tuanya…

Selalu kulihat semangat di wajah Ayah
Lewat anggukan atau kedip kelopak matanya
Saat kubisikkan
Ayah harus kuat, Aku cinta Ayah…

Tapi nyatanya…
Ayahku tetap harus pergi
Menemui penciptanya

Tinggalkan beribu kenangan manis
Hisup bersamanya
Wariskan beribu sifat baik dari
Kehidupannya.

Ayah pergi dengan tersenyum. Kata Bunda
Dalam damai dan diam
Tak ada jeritan kesakitan

Hanya diam dan tersenyum…
Mungkin sebagai tanda
Bahwa ia pernah bahagia
Hidup bersama keluarganya
Lalu bahagia menjemput keabadiannya

-----------------------------------------------------------------

Lalu…
Ada lagi yang hilang selain kebijaksanaanmu
Juga kasih sayangmu yang penuh itu
Memenuhi relung-relung jiwa dalam hariku

Tapi
Aku tahu
Kau sudah bahagia di sana
Memeluk erat ibumu…
Seperti kerinduan yang berpuluh-puluh tahun
Sudah membatu
Sejak 3 tahun umurmu…

Lalu
Tinggal kita di sini
Hadapi hari tanpa hadirmu
Tetapi dengan seribu keyakinan
Kau akan melihat kita semua

Bahagia
Mendoakanmu…
Merindukanmu…
Menggapai cita
Seperti keinginanmu dulu

Biarkan kita
Menjadi penerus akar hidupmu, Ayah

Lihatlah kita
Menjadi penerus akar hidupmu

Berilmu,
Beramal dan berakhlak mulia

Seperti yang selalu kau bisikkan
Dan doakan kepada kita

Kita kan selalu ada di sini,
Menjaga dan mencintai Bunda
Tersayang…
Ibu dari anak-anakmu
Seperti yang selalu kau lakukan kepadanya

Selamat jalan Ayah